Alih-alih menjadi solusi dan penyelamat, tol Trans Jawa panen keluhan. Setelah banyak keluhan dari sopir truk viral dan menjadi berita, kali ini pengusaha truk yang tergabung dalam Asosisasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) mengeluhkan mahalnya tarif tol yang menjadi kebanggaan rezim Jokowi-Jusuf Kalla.
Para pengusaha itu pun mendatangi kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan diterima langsung oleh Darmin Nasution. Mereka serempak mengeluhkan bahwa tol baru telah membuat ongkos operasional pengiriman naik dua kali lipat dibandingkan dengan lewat Jalan Pantura.
Yang mengusik perhatian publik adalah, adanya rumor yang tersebar bahwa pertemuan itu juga merupakan sebuah permintaan konfirmasi. Para pengusaha transportasi dan logistik lokal itu dihantui ketakutan bahwa mahalnya biaya tol adalah suatu kebijakan yang disengaja agar pengusaha lokal berguguran dan diganti pengusaha asing.
Kekhawatiran itu beralasan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, terjadi peningkatan realisasi investasi di sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi sebesar 58,6% pada 2018. Secara nominal, angka realisasi itu mencapai Rp 94,9 triliun pada 2018, dibandingkan capaian tahun sebelumnya yang senilai Rp 59,8 triliun.
Pertumbuhan ini jauh berbeda dengan realisasi investasi secara keseluruhan pada 2018, yang hanya meningkat 4,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, menjadi Rp 721,3 triliun. Jika diperinci, penanaman modal dalam negeri (PMDN) di sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi tercatat mencapai Rp 58,73 triliun atau meningkat 70,38% secara year on year (yoy), dari sebelumnya Rp 34,47 triliun. Sementara itu, penanaman modal asing (PMA) naik 59,78% dari yang hanya US$ 1,89 miliar menjadi US$ 3,02 miliar pada 2018.
Wakil Ketua Umum Aptrindo, Nofrisel, mengatakan kepada media bahwa keberadaan tol sangat membantu mereka dari segi kelancaran dan kecepatan. Sayangnya, kenaikan ongkos operasional sebesar 2 kali lipat itu jelas sangat signifikan.
“Intinya kita bisa bandingkan selama ini hanya sekitar Rp 500 atau 600-an ribu, sekarang bisa Rp 1 juta lebih, kan cukup siginifikan,” kata Nofrisel usai melakukan pertemuan dengan Darmin di Jakarta, Rabu (6/2/2019).
Dia mengatakan, struktur biaya pengiriman barang dengan truk terdiri atas beberapa elemen, mulai dari bensin hingga pengemudi. Tarif tol yang mahal jelas semakin menambah beban biaya.
Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) juga mengeluhkan persoalan yang sama, keuntungan mereka menjadi terpangkas akibat mahalnya tarif tol. Pasalnya, mereka tidak bisa menaikkan ongkos jasa ke pelanggan karena terikat kontrak.
“Kemampuan daya beli customer kita nggak naik karena customer mereka juga nggak punya kemampuan beli lebih. Kemudian kita nggak bisa menaikkan harga seenak-enaknya harga jasa kita kepada customer,” kata Wakil Ketua Umum ALI, Mahendra Rianto, kepada media secara terpisah.
Pengusaha logistik yang bertemu Darmin di antaranya mereka yang tergabung dalam Aptrindo, ALI, serta Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Express Indonesia (Asperindo). Namun, ketika ditanya pewarta mengenai pertemuan yang dihadiri pengusaha swasta dan BUMN itu, Darmin menolak memberikan penjelasan lebih jauh.
Mahendra yang ikut dalam pertemuan tersebut mengatakan, ada beberapa persoalan yang dibahas, salah satunya Sistem Logistik Nasional (Sislognas). “Dari mulai soal Sislognas, sistem logistik nasional, dan rencana aksi yang ada di dalam Sislognas apakah sudah dijalankan apa belum. Kan Siglognas membahas mengenai rantai pasokan Indonesia dan logistiknya,” katanya.
Ditambahkan, para pengusaha logistik juga menyampaikan masukan terkait masalah di bidang logistik.
Apakah benar pemerintah berniat memperbesar pemain asing dalam sektor ini? Tidak ada yang tahu secara pasti. Namun, mahalnya tarif jalan tol pada akhirnya adalah menjadi sebuah keniscayaan ketika akselerasi pembangunannya dilakukan dengan amat cepat, bahkan terlalu cepat.
Tengok saja yang terjadi dengan PT Jasa Marga (Persero) Tbk. Di tengah kondisi perekonomian yang tengah dalam ancaman perang dagang global, perusahaan berkode saham JSMR ini harus mengalami penambahan panjang jalan tol.
Secara kumulatif, sepanjang 2018 JSMR telah mengoperasikan jalan tol sepanjang 978 kilometer. Jumlah ini meningkat tajam hingga 48% secara yoy dibandingkan tahun sebelumnya yang baru sepanjang 660 kilometer.
Peningkatan tersebut didorong oleh sejumlah proyek jalan tol baru dengan total panjang 323,94 kilometer yang telah rampung dan bisa beroperasi tahun lalu. Lebih dari 200 kilometer tol baru itu ada di Jawa. Hanya 3,4% atau 10,75 kilometer saja yang beroperasi di Sumatra. Tepatnya ruas Tanjung Morawa–Parbarakan yang menjadi bagian dari proyek jalan tol Medan–Kualanamu–Tebing Tinggi.
Penambahan ruas pengelolaan tol tentu merupakan potensi sumber pendapatan baru. Namun, ketika penjualan yang diharapkan tak kunjung datang, bukankah aset baru ini akan menjadi liabilitas? Ujung-ujungnya jelas, perusahaan harus menaikkan harga produk ataupun jasa yang dijualnya.
Apakah ini yang sebenarnya terjadi? Yang jelas peningkatan ongkos logistik di Pulau Jawa yang merupakan pusat ekonomi negeri ini jelas kontraproduktif dengan program Jokowi-JK. Fenomena ini berpotensi memperburuk profil performa logistik Indonesia.
Dalam laporan Bank Dunia (World Bank) Juli 2018 yang bertajuk Indeks Performa Logistik (LPI), Indonesia mendapatkan penilaian yang tak terlalu menyenangkan. Dalam laporannya, performa logistik Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam.
Nilai total LPI Indonesia pada 2018 adalah sebesar 3,15, yang membawanya ke peringkat 46 dari 160 negara di dunia. Masih kalah dari Thailand yang berada di posisi 32, dan Malaysia 41. Bahkan Vietnam bisa berada di posisi 39.
Bila dilihat lebih dalam, efisiensi proses di perbatasan (custom) merupakan komponen yang memiliki performa paling buruk di antara komponen lainnya. Dengan nilai hanya 2,67 (peringkat ke-62 di dunia), mengindikasikan bahwa proses custom clearance di Indonesia masih berbelit-belit.
Kondisi serupa diperlihatkan oleh komponen kualitas infrastruktur transportasi (rel, pelabuhan, jalan, dan lain-lain) yang dinilai hanya 2,90 (peringkat 54 dunia). Mengindikasikan bahwa infrastruktur transportasi di Indonesia masih kurang memberi dukungan bagi kelancaran transportasi logistik. Agaknya komitmen pemerintah untuk menggiatkan pembangunan infrastruktur seperti jalan cukup beralasan.
Yang menggembirakan, dari segi kemampuan merancang pengiriman dengan biaya bersaing, Indonesia masih bisa mengungguli Vietnam dengan nilai 3,23. Efisiensi biaya logistik bisa menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan nilai ini. Masalahnya, biaya logistik yang membengkak akibat ongkos transportasi yang mahal akan membuat daya saing Indonesia kembali ciut.
Bank Dunia menilai performa logistik suatu negara dalam enam dimensi, yaitu efisiensi pemeriksaan di perbatasan oleh custom, kualitas infrastruktur transportasi, kemudahan mengatur pengiriman dengan harga bersaing, kompetensi dan kualitas layanan logistik, kemampuan melacak pengiriman, serta ketepatan waktu pengiriman.